SMA N 2 Slawi

Implementasi Budaya Hastalaku dalam Program Penguatan Pendidikan Karakter (Pendikar) di SMA Negeri 2 Slawi

Slasi Widasmara, S.Pd.

Pengajar SMA Negeri 2 Slawi

        Saya berdiri di depan kelas, melihat wajah-wajah para siswa yang sepertinya berada jauh dari jangkauan saya, meskipun mereka duduk hanya beberapa meter di depan. Senyum, sapaan hangat yang dulu saya temui setiap pagi, kini terasa seperti kenangan jauh. Para siswa datang ke sekolah dengan kepala tertunduk, mata mereka sibuk pada layar ponsel, jarang ada yang menyapa, bahkan sekadar melempar senyuman. Budaya yang dulu kami junjung tinggi, senyum, salam, sapa, perlahan menghilang.

         Pandemi telah mengubah banyak hal. Sekolah dibuka kembali setelah sekian lama ditutup, dan kami berharap bahwa interaksi sosial dan kehangatan yang dulu terjalin akan kembali. Namun, kenyataan berkata lain. Bukannya semakin akrab, mereka justru semakin menjauh satu sama lain. Mata mereka tidak lagi bertemu saat bicara, sapaan yang dulu ringan terlontar sekarang jarang terdengar. Awalnya, kami mengira itu hanya sementara, bahwa keadaan akan kembali normal. Tapi semakin lama, saya menyadari sesuatu yang lebih mendalam telah berubah. Kebiasaan saling peduli dan interaksi yang tulus perlahan terkikis, digantikan oleh dunia maya yang begitu mendominasi kehidupan mereka.

           Di lingkungan rumah, para orang tua tidak jarang bercerita, dengan nada prihatin, bahwa anak-anak mereka tak lagi menunjukkan rasa hormat yang sama seperti dulu. Anak-anak lebih sering mengurung diri di kamar, sibuk dengan ponsel dan internet. Kalimat “monggo, nderek langkung,” atau “maturnuwun” seakan menjadi kalimat asing. Padahal, dalam budaya Jawa, nilai-nilai kesopanan ini adalah pilar yang mengikat kita sebagai masyarakat yang penuh tata krama.

             Menurut Taryati et al (1995:71), tata krama atau sopan santun adalah suatu cara aturan yang diwariskan dan berkembang di dalam budaya masyarakat yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain untuk menjalin keakraban, saling pengertian, dan saling menghormati sesuai dengan adat yang telah ditetapkan. Dalam sebuah penelitian berjudul “Pandangan Pemuda terhadap Pentingnya Tata Krama dan Budaya Pendidikan Anak Usia Dini”, diperoleh gambaran yang cenderung mengarah pada penurunan kualitas penghayatan dan penerapan tata krama dalam keseharian pemuda. Dari responden dengan rentang usia 16-19 tahun, diperoleh data bahwa pada studi kasus mlaku mbungkuk ketika lewat di depan orang yang lebih tua, 46,7% remaja menjawab “kadang-kadang” dan bahkan 6,7% diantaranya menjawab “tidak pernah”. Demikian pula pada studi kasus dimana para responden diminta untuk memberikan pendapatnya mengenai seberapa sering mereka melihat para pelajar yang selalu mengucapkan permisi ketika melewati seseorang, responden mengaku jarang dan hanya kadang-kadang melihat kebiasaan seorang pelajar yang mengucapkan permisi. Lalu pada studi kasus dimana responden diminta pendapat mengenai seberapa sering mereka melihat para pelajar yang sering berkata kotor atau kasar. Berdasarkan hasil kuesioner dapat diketahui bahwa mayoritas responden mengaku sering melihat para pelajar berkata kotor atau kasar. Gambaran penilitian ini menjadi kekhawatiran bersama mengenai terkikisnya karakter positif di kalangan pelajar.

Mengapa fenomena ini bisa terjadi?

          Menurut Setiawan (2010), terdapat dua faktor yang menjadi penyebab remaja melakukan penyimpangan perilaku kesopanan tersebut, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri remaja tersebut, yaitu remaja yang sangat ingin diperhatikan sehingga melakukan hal apapun untuk mencapai tujuannya bahkan hal tersebut cenderung menyimpang dari perilaku kesopanan yang terjadi di masyarakat. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar remaja itu sendiri, seperti faktor dari lingkungan sosial, orang tua, dan sekolah. Namun, jika dicermati lebih mendalam, faktor terbesar yang mempengaruhi perubahan perilaku remaja adalah pesatnya perkembangan teknologi infomasi. Wahyudi dan Sukmawati (2014) menyatakan bahwa perkembangan teknologi juga mempengaruhi nilai-nilai budaya yang dipercaya oleh masyarakat, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Salah satunya ialah menyebabkan pudarnya perilaku kesopanan pada kalangan remaja akibat masuknya pengaruh budaya asing melalui media informasi yang diakses oleh remaja di internet, salah satu contohnya ialah penggunaan bahasa gaul dari budaya asing yang tidak jarang di dengar melalui media informasi kemudian diterapkan oleh remaja terhadap lingkungannya serta adanya kecenderungan minat dari remaja untuk meniru segala sesuatu yang di lihatnya dari tokoh masyarakat yang mereka sukai tanpa membedakan mana perilaku yang baik atau buruk dalam penerapan perilaku kesopanan di lingkungannya. Budaya asing ini lalu diadopsi oleh para remaja tanpa ada penyaringan terlebih dahulu, lalu mengadaptasinya pada kehidupan sehari-hari tanpa memilah mana yang sesuai ataupun tidak sesuai dengan perilaku kesopanan yang ada di Indonesia.

        Pesatnya kemajuan teknologi dan siginfikannya perkembangan zaman ini juga memunculkan fenomena generation gap yang membuat usaha mengembalikan remaja pada norma kesopanan menjadi tidak mudah. Meminjam istilah Prof Abdullah Padang dalam refleksi kritisnya “MENGAPA ANAK MILENIAL BERTINDAK BEGITU DI SEKOLAH?”, ada gap-mindset yang membentang di antara guru (dan orangtua) dan anak didik yang membuat seringnya muncul konflik yang “ada-ada saja”. Ada skema kognisi yang meleset. Misal, skema guru tentang bentuk murid itu bulat, membuat murid yang muncul dengan bentuk kotak, atau segitiga, atau hexagon, adalah anomali. Respon yang muncul sama-sama defensif. Dan ketika anak berani bersuara untuk menunjukkan bahwa ia segitiga, karena yang dia lihat adalah menjadi-bukan-bulat-itu-boleh-saja dan ada beragam bentuk lain di luar sana, justru mendapat penolakan dari orang dewasa yang tetep kekeuh pada skema bulatnya. Akhirnya tanggapan yang sering muncul justru, Aanak jaman sekarang memang begitu, tidak tahu adat”. Sedangkan pertanyaan anak tentang “Kok gitu sih?” hampir tidak pernah dijawab sama sekali.

            Ernest Hemingway dalam memoar A Moveable Feast berkata bahwa yang tua akan dieleminasi yang muda. Pola ini terjadi hampir di setiap zaman. Namun para pendidik seharusnya dan selamanya berada diantaranya. Guru dan orang tua harus mengambil peran ditengah sebagai jembatan penghubung bagi generasi muda yang powerful tapi gegabah ini untuk meniti jalan menjadi pribadi dewasa yang terdidik. Mungkin guru sudah kalah informatif dibanding google, kalah luas pergaulan dari Instagram, dan kalah aktual dari twitter. Tapi pendidik punya sesuatu yang tidak mungkin digantikan teknologi: sentuhan. Sentuhan lembut lewat teladan, gesture, dan dialog yang setara akan bermakna mendalam bagi generasi yang terlalu kenyang informasi ini. Maka, program Penguatan Pendidikan Karakter (Pendikar) menjadi relevan untuk dilakukan. Program ini menjadi program wajib tahunan di SMA Negeri 2 Slawi pasca-pandemi. Sejalan dengan penerapan Kurikulum Merdeka dimana sekolah ini menjadi piloting Sekolah Penggerak. Di tahun ketiga pelaksanaan Pendikar ini, kami mengintegrasikan nilai hastalaku kedalam rangkaian kegiatan dimana Sekolah Adipangastuti menjadi branding unggulan SMA Negeri 2 Slawi. Nilai hastalaku ini relevan dan urgen untuk diimplementasikan dalam kegiatan berkelanjutan yang bertujuan untuk membentuk karakter peserta didik yang sesuai dengan visi sekolah melalui aktivitas yang menguatkan bounding antara peserta didik dan guru maupun seluruh warga sekolah.

            Pendikar ini menekankan pada bounding antara siswa dengan guru, siswa dengan warga sekolah , dan siswa terhadap sesamanya yang dimulai sejak kelas X. Bounding dan sentuhan ini penting untuk menjadi pintu masuk paling awal bagi penanaman dan pembiasaan karakter positif pada siswa. Implementasi nilai-nilai hastalaku ini dilakukan mulai dari masa Pra-Pendikar dimana siswa dikondisikan untuk terbiasa senyum, salam, sapa ketika berpapasan. Pembiasaan ini dimulai sejak masuk pintu gerbang sekolah dimana siswa disambut oleh guru dan kakak kelas dari PKS, OSIS, dan MPK untuk bersalaman dan saling menyapa. Kemudian, setiap kelas X dikondisikan dalam sebuah projek bersama yang mengharuskan mereka berkreasi dan berkolaborasi sebagai sebuah teamwork untuk dapat menyelasikan tugas yang diberikan. Tugas tersebut berupa pembuatan atribut kelas, yel-yel, duta hastalaku, komitmen kelas, ornamen kelas, konten video, dan pentas seni yang semuanya bertema hastalaku. Tugas ini diselesaikan dalam tempo kurang dari 2 minggu di jam reguler P5 setiap harinya, waktu yang dikondisikan singkat agar memancing problem solving dan dinamika kelompok di kelas. Selanjutnya, puncak Pendikar selama 2 hari 1 malam di sekolah merupakan momen inagurasi yang semakin memantapkan proses pembentukan karakter ini. Kegiatan ini diisi oleh guru, OSIS, alumni, dan TNI dengan desain materi berupa inspirasi alumni, komitmen diri, dinamika kelompok, bela negara, pentas seni, refleksi, dan outbond. Selama kegiatan berlangsung, siswa wajib memakai atribut hastalaku yang dikreasikan kelasnya, yel-yel, kemudian pentas seni bertema hastalaku. Persiapan yang singkat nyatanya tidak menjadi penghalang bagi kreatifitas siswa. Kegiatan dapat terlaksana dengan baik, setiap kelas menampilkan kreativitas dan kolaborasi yang solid. Sikap dan karakter positif mulai ditunjukkan dengan masif. Seusai kegiatan, budaya postif hastalaku yang dibudidayakan melalui Pendikar ini perlahan kembali membumi di SMA Negeri 2 Slawi.

Sumber:

Islam, Sultan Nazmi Chairul, dkk. (2021). Pandangan Pemuda terhadap Pentingnya Tata Krama dan Budaya Pendidikan Anak Usia Dini. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Vol . 23, No.2, Desember 2021, pp 292 – 299.

Setiawan, H. 2010. Identifikasi Faktor-Faktor Penyimpangan Norma Kesopanan di Kalangan Remaja. Skripsi.

Taryati, dkk. (1995). Pembinaan Budaya dalam Lingkungan Keluarga. Jakarta: DEPDIKBUD.

Wahyudi, H. S. Sukmawati, M. P. 2014. Teknologi dan Kehidupan Masyarakat. Jurnal Analisa Sosiologi, 3(1).

Bagikan Informasi Ini