SMA N 2 Slawi

INTEGRASI HASTHALAKU DALAM P5 KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SARANA PENGUATAN IDENTITAS BUDAYA SISWA

Nadzifah Varda Munandar

Pelajar SMA Negeri 2 Slawi

Identitas budaya, penting tidak, sih?

          Sebut saja Raden, kebiasaannya yang suka menyendiri ini kerap membuat orang enggan untuk mengajaknya berinteraksi. Asik bermain gawai saat diajak mengobrol, hanya berdeham ketika ada teman yang menyapa dengan senyuman, bahkan ketika hendak melewati guru pun ia tak mengucap kalimat permisi. Terkesan individualis, bolak-balik ia ditegur untuk memperbaiki sikap dan lebih terbuka. Coba kalian bayangkan, ketika memiliki teman sepertinya, apa yang akan kalian rasakan?

          Tak jarang, pada masa kini, Sebagian besar siswa merasa berat untuk sekedar mengucap kata maaf, terimakasih, dan meminta tolong. Tersenyum saat bertemu dengan teman pun mereka tak mau, apalagi menunduk ketika melewati orang yang lebih tua dari mereka. Padahal sikap sederhana seperti inilah yang menjadi bentuk penerapan nilai-nilai kesantunan dalam diri seseorang. Namun, sayangnya degradasi identitas budaya ini terjadi secara massif. Sebuah riset berjudul “Pandangan Pemuda terhadap Pentingnya Tata Krama dan Budaya Pendidikan Anak Usia Dini” dimana respondennya merupakan remaja di kisaran usia 17-19 tahun memberikan Gambaran mengenai dekadensi identitas budaya ini. Dalam penilitian tersebut, tergambar bahwa 31,1% pelajar jarang mencium tangan orang yang lebih tua, 46,6% jarang membungkukkan badan ketika lewat di depan orang yang lebih tua, bahkan sejumlah 6,7% menyatakan tidak pernah. Lalu 66,7% mengaku sering melihat para pelajar berkata kotor atau kasar, dan 51% pelajar tidak lagi menggunakan kata “permisi” ketika melewati seseorang.

          Pandemi, bagaimanapun, telah mengubah banyak hal. Profesor Yuval Noah Harari dalam essainya berjudul “The World after Coronavirus” yang diterbitkan di Majalah Financial Times menggambarkan saat ini umat manusia berada dalam laboratorium sosial berskala besar. Semua berada pada situasi darurat yang menuntut respon perubahan yang serba cepat. Upaya besar-besaran dalam penanggulangan wabah kemudian berimbas pula pada permasalahan interaksi sosial. Tuntutan isolasi menjadikan manusia terklasifikasi sesuai dengan bias yang bersumber dari pola pikir mereka. Pola pikir itu sendiri terbentuk dari hasil dogma-dogma dan skemata yang sudah ditanamkan jauh sebelum pandemi ini terjadi. Kurangnya interaksi sosial tersebut mengakibatkan kurangnya dialektika dan kemampuan nalar kritis remaja di masa pandemi yang kemudian berpengaruh pada krisis jati diri. Mulai lunturnya jati diri di kalangan pelajar ini berimbas terhadap penurunan pemahaman akan identitas nasional dan budaya bangsa indonesia. Sumarsono (2000:2) menjelaskan bahwa kondisi ini akan mempengaruhi struktur dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, serta akan mempengaruhi pula dalam pola pikir, sikap dan tindakan Identitas budaya diartikan sebagai suatu ciri berupa budaya yang membedakan suatu bangsa atau kelompok masyarakat dengan kelompok yang lainnya. Identitas budaya inilah yang akan menjadi sebuah penanda yang melekat pada suatu bangsa sehingga dapat menjadi pembeda. Identitas ini adalah landasan negara dan alat untuk mempersatukan bangsa. Tanpa adanya identitas nasional negara, suatu bangsa pastinya akan sulit untuk dipersatukan dan berjalan bersama. Identitas ini tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya serta adat istiadat masyarakat. Esensi identitas budaya dapat dilihat pada kondisi-kondisi seperti nilai-nilai etika, moral, maupun kebiasaan masyarakat yang sudah berlaku secara turun temurun.

          Globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi menjadi salah satu katalis dekadensi identitasi budaya di kalangan remaja. Dasim Budimansyah (2010: 1) menjelaskan bahwa globalisasi menjadikan kalangan muda bangsa Indonesia lebih tertarik pada budaya baru yang ditawarkan oleh budaya luar sekolah dibandingkan dengan budaya Indonesia yang ditanamkan di sekolah. Banyak dari kalangan generasi muda yang menganggap bahwa budaya Barat lebih terkesan modern, menyebabkan mereka cenderung lebih memilih untuk mengikuti dan menirunya dibanding dengan budaya bangsa sendiri. Misalnya pada cara bersikap, berpakaian, berbicara, hingga pola dan gaya hidup. Ini terjadi karena mereka lebih menyukai hal-hal yang bersifat kekinian dan sangat bergantung pada internet. Padahal, perkembangan  teknologi  mempunyai  kelemahan  yaitu kurangnya     pemahaman     terhadap     diegetika     sehingga     menimbulkan     perilaku menyimpang  yang  dapat  berujung  pada  merosotnya  moralitas  bangsa (Budi  Ismanto  et al., 2022).

          Di tengah kekhawatiran akan dekadensi moral dan identitas budaya di kalangan remaja ini, Program Sekolah Adipangastuti memberikan konsepsi konkret mengenai bagaimana seharusnya pendidikan karakter itu dilakukan. Melalui penerapan Hastalaku, yang bersumber pada kearifan budaya Jawa yang luhur. Program ini bergerak sebagai benteng dari maraknya 3 dosa besar pendidikan dan pencegahan akan lunturnya identitas budaya indonesia.

          Sejalan dengan Program Sekolah Adipangastuti, SMA Negeri 2 Slawi kemudian mengintegrasikan program Hastalaku dalam kurikulum P5  Kearifan Lokal yang berfokus pada pengembangan karakter dan nilai-nilai budaya. Pembelajaran P5 ini kemudian mengusung tema: “Menelusur Kearifan Budaya Tegalan” pada siswa kelas XI. Fokus projek ini adalah pada penelusuran dan pendokumentasian nilai-nilai luhur budaya lokal yang terwujud dalam ragam kesenian, upacara adat, tradisi, maupun kuliner. Setiap kelompok siswa ditugaskan melakukan penelusuran dan pendokumentasian elemen-elemen kearifan lokal dari komunitas mereka—mulai dari ritual adat, kuliner, kesenian, dan budaya luhur dalam lingkup lokal Tegal. Tidak hanya belajar tentang sejarah dan budaya mereka, tetapi juga bagaimana menerapkannya dalam konteks kehidupan modern.

          Kearifan lokal merujuk pada pengetahuan, praktik, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh komunitas lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. Teori dan konsep mengenai kearifan lokal melibatkan berbagai disiplin ilmu, termasuk antropologi, sosiologi, dan pendidikan. Daryono (2009) dalam bukunya berjudul Kearifan Lokal dan Konservasi Sumber Daya Alam mengemukakan bahwa kearifan lokal mencakup pengetahuan dan praktik yang telah berkembang dalam masyarakat sebagai hasil dari interaksi antara komunitas dengan lingkungan mereka. Kearifan ini berfungsi untuk mengelola sumber daya alam, menjaga keharmonisan sosial, dan melestarikan budaya lokal. Integrasi nilai Hastalaku dalam pembelajaran P5 Kearifan Lokal sebagai sarana penguatan identitas budaya siswa, SMA Negeri 2 Slawi kemudian mengambil beberapa langkah. Pertama, melibatkan semua pihak terkait—termasuk guru, siswa, dan komunitas lokal—dalam merancang dan melaksanakan program pembelajaran yang mengintegrasikan Hastalaku. Kedua, sekolah menyelenggarakan workshop, seminar, atau kunjungan ke komunitas lokal untuk memberikan pengalaman langsung dan memperdalam pemahaman siswa tentang budaya mereka. Siswa juga diajak untuk terlibat dalam proyek berbasis kearifan lokal yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka, seperti penelitian atau pembuatan karya seni tradisional, pembuatan buku, serta pembuatan film dokumenter. Terakhir, evaluasi berkala terhadap program ini dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan dan area yang memerlukan perbaikan.

          Para siswa secara berkelompok kemudian memilih objek studinya dalam bentuk yang berbeda-beda. Beberapa memilih untuk mempelajari seni tari tradisional Tegal yang ikonik seperti Tari Topeng Endel, menelusuri khazanah kuliner Tegal yang khas, mengunjungi pengrajin batik lokal, mengamati proses membatik, bahkan mencoba teknik-teknik tersebut. Seni wayang yang terekam dengan rapi di Museum Wayang Ki Enthus pun tidak luput dari pengamatan siswa. Lalu siswa juga menghidupkan kembali ragam permainan tradisional, menelusuri tradisi ziarah kubur, serta mengunjungi situs-situs bersejarah seperti makam tokoh sejarah, pabrik gula jaman Belanda, serta situs arkeologi.

          Produk siswa kemudian dipamerkan pada saat gelar karya yang dilakukan secara langsung di lobi sekolah maupun secara virtual di kanal Youtube Media Center SMAN 2 Slawi. Pameran ini tidak hanya menampilkan produk-produk yang mereka buat, tetapi juga cerita-cerita yang mereka kumpulkan tentang makna dan pentingnya setiap elemen budaya. Para siswa nantinya akan berbagi pengetahuan baru dengan bangga, disaksikan oleh para guru serta orang tua. Menjadi bukti integrasi program Hastalaku dalam P5 Kearifan Lokal telah berhasil menghidupkan semangat dan identitas budaya di kalangan siswa.

 

Sumber:

Dasim Budimansyah. (2010). Tantangan globalisasi terhadap pembinaan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air di sekolah. Jurnal Penelitian Pendidikan, 11, 1.

Islam, Sultan Nazmi Chairul, dkk. (2021). Pandangan Pemuda terhadap Pentingnya Tata Krama dan Budaya Pendidikan Anak Usia Dini. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Vol . 23, No.2, Desember 2021, pp 292 – 299.

Sumarsono. (2000). Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional.

Bagikan Informasi Ini