SMA N 2 Slawi

REDUKSI TIGA DOSA BESAR PENDIDIKAN MELALUI P5: BANGUNLAH JIWA DAN RAGANYA

Anna Amalia Candra Utami

Pelajar SMAN 2 Slawi

          Quaden Bayles menangis. Ratapan “aku ingin mati” dari bocah 9 tahun itu pada kenyataanya hanya membunuh perasaan ibunya saja. Tidak kepada kita, ketika seluruh dunia akhirnya mendengar tangisan bocah yang mengidap dwarfisme ini. 22 Februari 2020, beredar video Quaden menangis di dalam mobil ketika dijemput ibunya di sekolah. “Give me a rope, I want to kill my self,” ujar Quaden. Ia berulang kali memohon agar seseorang membunuhnya saja. Ibunya, Yarraka Bayles, selama ini menyimpan tangis anaknya di ruang privasinya. Namun kali itu, ia memutuskan untuk memberitahu dunia, bahwa tangis anaknya bisa saja bernada sama dengan anak-anak lain yang menderita karena perundungan.

            Benar saja, saudara saya pernah bercerita peristiwa sebagai penyintas bullying, masih dengan detil yang jelas meskipun sudah terlewat beberapa tahun. Sewaktu SMP, saudara saya menjadi korban pengeroyokan geng pelajar lain sekolah gara-gara masalah sepele. Kebetulan mereka anak sekitar SMPnya. Sedangkan ia perantau lain kecamatan. Jadilah ia sasaran empuk pembuktian kekuatan gangster wannabe mereka. Beberapa hari ia dicari dan diancam. Posisi ketika itu ia kelas 3 SMP, mulai persiapan UN. Fokusnya hancur. Setiap hari ia ketakukan. Setiap detil rasa takut, bunyi bel pulang sekolah, beranda tempat berjalan, dan suasana riuh selasar depan sekolah pinggir jalan raya semuanya terekam jelas dalam ingatan hingga sekarang. Rasa mual ketika akhirnya gerombolan itu datang dan mencegat ia tepat di mulut gerbang sekolah masih bisa ia rasakan. Dan teriakan ancaman, cengkeraman di kerah baju, dorongan kiri kanan, hantaman tinju bertubi-tubi, serta teman-teman sekolah yang hanya diam saja melihat ia dikeroyok di muka umum masih jelas terekam dalam ingatan. Ia ingat sekali, ia hanya menunduk memegangi kepala. Menangkis sebisanya. Rasa takut membuat bibirnya kelu untuk berteriak. Dan rasa malu membuat ia menangis tanpa setetes air matapun yang menetes. Pukulan mereka memang tidak pernah bener-benar melukai wajahnya. Katanya, terasa sakit pun tidak. Tapi hantamannya benar-benar mendarat tepat di mentalnya, di harga dirinya, dan meninggalkan bekas yang begitu dalam. Melihat wajah mereka setiap lewat depan sekolah selalu membuat ia bergidik dan mual. Bahkan berbulan bulan setelah akhirnya mereka mengakhiri konflik karena mereka telah puas. Setiap detil trauma itu tetap membekas. Meski telah terlewat 15 tahun, gigi berantakan berwarna kuning milik salah seorang diantara mereka masih lekat dalam ingatan. Kisah ini tetap tersimpan tanpa pernah ada orang dewasa yang tahu ketika itu.

         Nyatanya, pelajar masa kini lebih rentan mengalami kesehatan mental dan kenakalan akibat perkembangan media sosial. Menurut survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022, 15,5 juta atau 34,8% remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental dan menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada awal 2024 ada 141 aduan kekerasan anak, ironisnya 35 % di antaranya terjadi dilingkungan sekolah. Jika ditingkatkan perjenjang pendidikan, siswa SD merupakan korban bullying terbanyak yaitu 26% disusul oleh siswa SMP 25% dan siswa SMA 18,75%. Permasalahan ini semakin menjadi perhatian utama karena dampaknya yang sangat signifikan terhadap kesejahteraan dan prestasi akademik mereka. Pelajar sering mengalami stres akademik yang tinggi, kecemasan, dan depresi akibat tekanan dari tugas, ujian, ekspektasi sosial kepada mereka. Perundungan di sekolah baik secara langsung maupun melalui sosial media, juga merupakan masalah yang serius yang mengganggu kesehatan mental. Ditambah lagi jika ada isolasi sosial dan ketidakstabilan keluarga dapat menambah beban emosional mereka. Saat mereka dihadapkan dengan posisi seperti ini ditambah dengan emosinya belum cukup stabil, mereka bisa saja melakukan hal-hal yang tidak diinginkan dan membahayakan nyawa mereka sendiri.

              Di dalam dunia pendidikan, dikenal dengan istilah tiga dosa besar yang merupakan permasalahan serius yang mengancam keamanan dan kesejahteraan peserta didik di lingkungan sekolah. Kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi merupakan masalah yang tidak hanya mengganggu proses pembelajaran, tetapi juga membahayakan masa depan generasi penerus bangsa. Dalam pelaksanaan pengimplementasian Kurikulum Merdeka, terdapat beberapa problematika seperti kasus-kasus tertentu dan menunjukkan permasalahan serius bagi sektor pendidikan. Problematika disini tidak hanya berkaitan dengan kompetensi belajar peserta didik saja, melainkan pembentukan karakter siswa (Susilawati & Sarifun, 2021).  Kasus agresif dan perilaku tidak pantas yang ditunjukkan oleh peserta didik di lingkungan sekolah bermacam-macam, diantaranya Bullying atau perundungan, Intoleransi dan Kekerasan Seksual. Menurut Dewi (2020), Bullying atau perundungan merupakan situasi dimana telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh seseorang ataupun kelompok dengan tujuan untuk merugikan ataupun menyakiti orang lain. Di dalam permasalahan ini sekolah juga memiliki peranan yang tidak kalah penting untuk membentuk karakter siswa agar tidak terjadinya kemerosotan moral pada generasi penerus bangsa. Program seperti pendidikan karakter perlu dibudidayakan di lingkungan sekolah dan masyarakat.untuk membentuk karakter atau moral yang baik dan mencegah tiga dosa besar dalam pendidikan itu sendiri.

          Setidaknya, kisah Sam Berns dapat menjadi inspirasi tentang bagaimana support system dapat sangat berarti bagi para penyintas bullying. Sam Berns, seorang anak laki-laki yang manghadapi progeria–sebuah kondisi langka yang menyebabkan penuaan dini yang membuat kulit wajah Sam menipis dan keriput,serta pertumbuhan gigi yang terlambat, rambut kepala dan bulu yang rontok. Dalam TEDx Talk-nya tahun 2014 Sam mengatakan penyakit yang di idapnya menyerang hanya sekitar 350 anak di dunia. Menjadi salah satu pengidap syndrome progeria tentu bukanlah hal yang mudah. Apalagi dengan perbedaannya yang terlihat jelas,beberapa perkataan yang kurang mengenakan,ejekan atau bahkan sikap diskriminatif tidak dapat terpungkiri. Jika kita sadar orang yang memiliki perbedaan yang tidak terlihat saja masih bisa mendapatkan perlakuan yang kurang baik. Namun bukan ini yang Sam cerita ia justru membagikan “My Philosophy For a happy life”. Dikelilingi oleh orang-orang tulus dalam mendorong dan mendukungnya,ketebukaan untuk bercerita,dan berada dilingkungan yang positif dapat mempengaruhi kebahagiaan dan ketahanan mental seseorang. Prinsip inilah yang memiliki relenvansi dalam konteks pendidikan mengenai tiga dosa besar dalam pendidikan. kurangnya dukungan psikologis di sekolah membuat pelajar sulit mengatasi masalah tersebut. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran, menyediakan dukungan psikologis yang memadai, dan menerapkan program kesejahteraan yang komprehensif untuk mendukung kesehatan mental pelajar secara efektif.

       Salah satu langkah konkret yang diambil oleh sekolah penulis SMAN 2 slawi untuk mereduksi tiga dosa besar dalam pendidikan adalah dengan mengimplementasikan pembelajaran P5 bertema Bangunlah Jiwa dan Raganya. Melalui kampanye media sosial dan film pendek, siswa menjadi lebih terlibat dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu ini serta cara-cara untuk mengatasinya dengan pendekatan P5. Proyek ini tidak hanya meningkatkan dukungan untuk kesehatan mental di kalangan siswa, tetapi juga memperkuat komunitas sekolah dengan pendekatan yang inklusif dan suportif juga membuka lensa mata siswa tentang penggunaan akun media sosial kearah yang lebih positif melalui program one day one post berupa satu postingan positif dan motivatif di akun media sosial miliknya. Dengan menggunakan media sosial sebagai alat untuk penyebaran informasi dan film sebagai cara untuk menceritakan pengalaman nyata, proyek ini memberikan model yang efektif untuk reformasi pendidikan dan pengembangan strategi yang lebih baik dalam menghadapi tantangan pendidikan di masa depan.

       Kemudian sekolah juga mengadakan proyek peluncuran 54 film pendek yang siswa buat dengan melibatkan siswa, orang tua, dan masyarakat. Dengan alur cerita yang menyentuh dan visual yang kuat, film-film ini bertujuan untuk mengangkat kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan menginspirasi tindakan positif di kalangan remaja. Diskusi terbuka yang dilakukan setelah pemutaran film. Proyek ini berhasil menciptakan kesadaran yang lebih besar tentang perundungan, intoleransi, dan kekerasan di SMA Negeri 2 Slawi. Pada akhirnya untuk mereduksi tiga dosa besar pendidikan harus dimulai dari unit terkecil dalam masyarakat yang menjadi pondasi bagi tumbuh kembangnya individu dalam membentuk karakter,moral,dan nilai-nilai individu. Menanamkan moral,menuai masa depan cemerlang.

Sumber:

Dewi, P. Y. A. (2020). Perilaku School Bullying Pada Siswa Sekolah Dasar. Edukasi: Jurnal Pendidikan Dasar, 1(1), 39-48.

https://internasional.kompas.com/read/2020/02/22/06171431/kisah-sedih-quaden-bayles-anak-korban-bully-yang-menangis-histeris.

https://ugm.ac.id/id/berita/23086-hasil-survei-i-namhs-satu-dari-tiga-remaja-indonesia-memiliki-masalah-kesehatan-mental/

Susilawati, E., Sarifudin, S., & Muslim, S. (2021). Internalisasi Nilai Pancasila dalam Pembelajaran melalui Penerapan Profil Pelajar Pancasila berbantuan Platform Merdeka Mengajar. Jurnal Teknodik, 25(2), 155–167.

Bagikan Informasi Ini